“Ayo berangkat, jangan telat. Sukses nggak bisa datang sendiri, harus dijemput.”
Itulah kalimat pertama yang hampir selalu kudengar setiap pagi. Kalimat itu keluar dari lisan insan yang paling kuhormati, lelaki yang kusapa Bapak. Bukan ucapan manis atau sapaan lembut seperti yang mungkin terdengar dari orang tua lain, melainkan kalimat sederhana penuh makna. Dari tutur yang tegas dan datar itulah, aku merasakan cinta seorang ayah—sederhana tapi tulus, yang nyata tanpa basa-basi.
Bapak bekerja sebagai mekanik. Tangannya kasar, penuh kapalan, dan sering terluka oleh goresan-goresan kecil. Kadang, aku masih bisa mencium bau oli yang melekat, meski sudah dicuci berulang kali. Dari tangan itulah banyak hal dalam hidupku berjalan—mulai dari roda motor yang selalu siap melaju setiap pagi, hingga semangat yang diam-diam ia tanamkan dalam diriku.
“Bapak nggak sekolah tinggi, tapi maunya kamu bisa lebih dari Bapak,” ujarnya suatu pagi saat memeriksa tekanan ban motor sebelum berangkat. Setiap hari, dia tak pernah absen memberikan ‘ceramah’ singkat tentang berbagai hal. Kadang topiknya ringan, seperti cara merawat motor atau kondisi jalan yang semakin rusak. Kadang juga lebih serius—tentang bagaimana menjaga sikap di hadapan orang lain, memilih teman yang tepat, dan tetap menjadi diri sendiri di tengah tekanan lingkungan.
Dulu, aku sering merasa terganggu dan kesal dengan ocehannya yang seolah tak pernah berhenti. Aku sering membatin, “Kapan sih berhentinya?” Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami bahwa di balik nada datar dan tegas itu tersimpan perhatian yang nyata. Suaranya yang dulu terasa mengganggu kini menjadi pengingat bahwa aku tidak pernah berjalan sendiri. Ada figur yang selalu memperhatikan, mengawasi setiap langkah, dan berharap aku bisa terus bertahan dan maju. Bahkan saat aku lelah dan ingin menyerah, suaranya tanpa kusadari memberi kekuatan baru.
Dia bukan tipe pendiam yang menyimpan segalanya dalam diam. Justru sebaliknya—bicara terus, menegur, mengingatkan, menasihati, hampir tanpa jeda. Kini aku mengerti: setiap kalimatnya adalah bentuk perlindungan, cara menjaga tanpa perlu memeluk. Kadang aku hanya membalas dengan anggukan singkat, atau pura-pura sibuk agar tak perlu menjawab. Tapi diam-diam, semua itu menancap, membentuk caraku berpikir, caraku berdiri hari ini.
Dari suara yang dulu terasa membebani, aku belajar arah. Dari kerja keras tanpa menuntut balasan, aku memahami bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk paling sederhana: sebuah motor yang selalu siap mengantarku, tangan kasar yang tak pernah ragu menopang, dan punggung lelah yang tetap tegak di tengah dunia yang tak ramah.
No comments:
Post a Comment