Wawancara Presiden Prabowo Subianto dengan tujuh jurnalis senior dari berbagai media nasional menjadi salah satu momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Sebagai presiden yang kini telah resmi menjabat sejak Oktober 2024, tayangan ini memberikan gambaran awal tentang arah kebijakan yang mulai dijalankan oleh Prabowo. Selain itu, wawancara tersebut membuka kesempatan bagi publik untuk menilai sejauh mana keterbukaan dan komitmen pemerintah baru terhadap isu-isu penting di tingkat nasional.
Menurut
saya, cara para jurnalis menyusun pertanyaan untuk Presiden Prabowo cukup tajam
dan mendalam, walaupun tetap disampaikan dengan hati-hati. Beberapa pertanyaan
memang mencoba menggali lebih jauh, namun tidak sampai bersifat menyerang atau
menekan langsung. Mereka tetap menjaga sikap yang sopan dan tidak terlalu
konfrontatif. Misalnya, saat membahas revisi UU TNI, para jurnalis lebih banyak
menanyakan pandangan umum Presiden Prabowo, tanpa benar-benar menyentuh
kekhawatiran masyarakat soal kemungkinan perluasan peran militer di luar tugas
pertahanan. Padahal, ini isu penting yang layak ditanyakan lebih dalam. Begitu
juga saat topik kebijakan tarif Trump muncul, pertanyaannya lebih fokus pada
bagaimana Prabowo akan merespons secara bijak, bukan pada dampaknya
terhadap arah kebijakan luar negeri Indonesia. Kedua contoh ini menunjukkan
bahwa sebagian pertanyaan masih terkesan aman dan belum cukup tajam. Hal ini
bisa dimengerti karena wawancara berlangsung dalam suasana yang cukup resmi dan
formal, namun masyarakat tetap membutuhkan pertanyaan yang lebih berani dan
langsung ke pokok masalah, terutama soal isu-isu penting yang berdampak besar
pada kehidupan rakyat dan jalannya demokrasi.
Menurut
saya, kehadiran tujuh jurnalis dari berbagai media sebenarnya bisa menciptakan
dinamika yang seru dan mendalam dalam wawancara. Tapi dalam tayangan tersebut,
saya justru merasa interaksi antarjurnalis kurang terlihat. Setiap jurnalis
seperti hanya fokus pada pertanyaannya sendiri, tanpa menanggapi atau
melanjutkan dari pertanyaan sebelumnya. Akibatnya, beberapa topik terasa tidak
dikembangkan lebih jauh dan hanya berhenti pada jawaban umum dari Presiden
Prabowo. Saya tidak melihat adanya persaingan yang mencolok antarjurnalis, tapi
juga tidak terlihat adanya kerja sama aktif yang bisa mendorong narasumber
untuk lebih terbuka dan bertanggung jawab. Padahal, kalau para jurnalis saling
mendukung dalam menggali isu, diskusi bisa jadi lebih kaya dan peran media
sebagai pengontrol kekuasaan bisa lebih terasa.
Jika
saya menjadi salah satu jurnalis dalam forum tersebut, saya akan mengajukan
pertanyaan yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, seperti tentang
komitmen Prabowo terhadap perlindungan HAM dan kebebasan sipil, terutama
terkait rencana perluasan peran TNI dalam ranah sipil. Misalnya:
"Bagaimana Bapak memastikan bahwa perluasan peran TNI tidak akan mengancam
kebebasan sipil masyarakat atau digunakan untuk mengekang kritik terhadap
pemerintah?" Pertanyaan ini penting karena berdasarkan sejarah Indonesia,
sering kali kekuatan militer yang terlalu besar justru berujung pada tindakan
represi (penindasan atau pembatasan kebebasan). Oleh karena itu, transparansi
(keterbukaan informasi) dan pembatasan kekuasaan sangat diperlukan agar
demokrasi tetap terjaga.
Dari
semua topik yang dibahas, saya menilai isu ketahanan pangan adalah yang paling
relevan dan mendesak bagi masyarakat. Harga bahan pokok, akses terhadap makanan
bergizi, dan kedaulatan petani lokal adalah hal-hal yang langsung memengaruhi
kehidupan sehari-hari rakyat. Dalam wawancara, Prabowo menyampaikan rencana
besar untuk mencapai swasembada pangan, termasuk pembangunan lumbung pangan dan
peningkatan produksi dalam negeri. Media punya tanggung jawab besar untuk terus
mengawasi isu ini, termasuk memeriksa pelaksanaannya di lapangan, mendukung
petani kecil, dan melihat dampak lingkungan dari proyek pangan besar. Jangan
sampai rencana ambisius tersebut hanya menjadi janji politik tanpa ada hasil nyata yang
menguntungkan rakyat.
Wawancara ini menjadi momen penting untuk
menilai gaya komunikasi Presiden Prabowo sekaligus strategi media dalam
menggali informasi. Namun masih terdapat ruang untuk kritik dan perbaikan, baik
dari sisi ketajaman pertanyaan maupun dinamika antarjurnalis. Di tengah
transisi politik ini, media diharapkan tidak hanya menjadi penyambung lidah
kekuasaan, tetapi juga penjaga nurani publik.
No comments:
Post a Comment